Jakarta, Komite.id – XL Axiata angkat bicara soal kabar pembahasan merger dengan operator seluler Smartfren. Group Head Corporate Communication Retno Wulan mengatakan penyebaran tersebut masih sebatas spekulasi dan rumor sehingga pihaknya belum bisa berkomentar lebih jauh.

Sementara itu, Direktur Smartfren Gisela Lesmana mempertanyakan  keabsahan sumber transmisi informasi tersebut. Namun Smartfren pada dasarnya siap menjalin komunikasi dengan siapapun yang memberikan dampak positif.

Hal ini sebelumnya diberitakan Bloomberg, Axiata dan Sinar Mas, pemilik PT XL Axiata Tbk. Dan PT Smartfren Telecom Tbk. sedang dalam pembicaraan untuk menggabungkan kedua operator seluler menjadi satu perusahaan.

 Bloomberg memberitakan rencana merger XL dan Smartfren dengan mengutip beberapa sumber yang mengetahui proses negosiasi tersebut.

Saat dikonfirmasi, Direktur Hubungan Investor dan Komunikasi Smartfren Gisela Lesmana mengatakan, sesuai tugas yang diberikan kepada manajemen, Smartfren selalu berupaya  mencapai kinerja  optimal.

“Dengan adanya pemberitaan terakhir, kami tetap netral,” kata Gisela, Rabu (9/6).

Ia mengatakan misi Smartfren saat ini  adalah fokus pada penerapan fungsi operasional secara optimal. Namun secara tersirat ia menyatakan tidak menutup kemungkinan adanya kerja sama  kedua emiten di bidang telekomunikasi.

“Ketika ada kebutuhan kerjasama atau bisa menciptakan kerjasama yang positif, tentunya kami tidak segan-segan membuka forum dialog,” jelasnya.  Berbeda dengan Gisela, GH Corporate Communications XL Axiata Retno Wulan mengungkapkan informasi tersebut masih sebatas spekulasi dan rumor, sehingga perseroan belum bisa memberikan pernyataan lebih lanjut.

“Dalam pandangan kami, informasi tersebut masih berupa spekulasi dan rumor, sehingga kami belum bisa memberikan tanggapan lebih lanjut,” ujarnya.

Lalu jika dilihat dari kinerja keuangannya, karena kedua emiten tersebut bergerak di sektor telekomunikasi, PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) pada Juni 2023 mencatatkan pendapatan sebesar Rp 5,561 triliun, naik 1,9%  dibandingkan  periode yang sama tahun lalu. Rp 5,453 triliun.

Sayangnya, pada semester I 2023, FREN membukukan rugi bersih sebesar Rp 543,2 miliar pada semester I 2023, atau lebih buruk dibandingkan periode  sama tahun lalu yang justru mencatatkan laba bersih sebesar Rp 54,6 miliar.

Di sisi lain, kinerja PT XL Axiata Tbk (EXCL) menunjukkan peningkatan pendapatan sebesar 12% year-on-year menjadi Rp 15,76 triliun dari Rp 14,07 triliun. Kenaikan ini turut mendorong laba milik pemilik  induk perusahaan EXCL ini naik 5,81% year-on-year menjadi Rp 650,68 miliar. Dibandingkan semester I-2022,  XL Axiata mencatatkan laba bersih Rp 614,91 miliar.

Axiata, perusahaan telekomunikasi Malaysia, menguasai 66% saham XL. Sedangkan Smartfren merupakan anak perusahaan Sinar Mas.

Dalam laporan keuangan terbarunya, XL Axiata menyebutkan memiliki 58 juta pelanggan hingga 30 Juni 2023. Sedangkan Smartfren menyebut pada akhir tahun memiliki 36 juta pelanggan.

Industri telekomunikasi Indonesia telah mengalami gelombang konsolidasi dalam beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, PT Indosat Tbk. Ooredoo yang mayoritas sahamnya dimiliki Qatar bergabung dengan PT Hutchison 3 Indonesia yang dimiliki oleh CK Hutchison Holdings Ltd. dari Hong Kong.

PT Telkom Indonesia Tbk. Juga mengambil strategi penggabungan dua unit bisnis konsumennya, Telkomsel dan Indihome.

Sementara itu, Ian Yosef M. Edward, Direktur Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), memandang merger Smartfren dan XL Axiata sebagai solusi murah untuk meningkatkan sumber daya frekuensi.

Keduanya saat ini menjadi operator dengan band paling sedikit di Indonesia sehingga sulit bersaing dengan Indosat dan Telkomsel. Berkat merger, mereka tidak perlu lagi mengikuti proses lelang atau kontes kecantikan untuk mendapatkan lebih banyak spektrum.

Nilai lelang spektrum final tahun 2022, untuk tambahan spektrum 2×5 MHz, mengharuskan operator mengeluarkan dana Rp605 miliar selama 10 tahun dan Rp1,8 triliun pada tahun pertama. Saat ini XL Axiata mengoperasikan 45 MHz untuk uplink dan 45 MHz untuk downlink, dengan total  90 MHz, dengan pita  1,9 GHz dan 2,1 GHz digunakan untuk 5G.

Sedangkan Smartfren beroperasi pada frekuensi 11 MHz untuk uplink dan 11 MHz untuk downlink pada pita 800 MHz dan 40 MHz pada pita 2,3 GHz.

Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan Indosat dan Telkomsel yang masing-masing  145 MHz+50 MHz dan 135 MHz. Frekuensi adalah sumber daya seumur hidup yang terbatas bagi operator seluler untuk memberikan layanan berkualitas kepada pelanggan.

“Apalagi tidak ada alokasi frekuensi baru  dan cenderung lebih mahal,” ujar Ian, Rabu (06/09).

Ian juga mengatakan, jika merger ini benar-benar terjadi maka akan memperbesar kemungkinan tercapainya kesepakatan tarif yang berujung pada tingginya harga telekomunikasi.

Ia menilai dari perspektif persaingan komersial keberadaan empat perusahaan yang beroperasi sebenarnya lebih ideal daripada tiga atau dua eksekutif.

Maka Ian pun berharap jika merger ini  terjadi, tidak ada lagi merger antar operator.

“Masyarakat akan dirugikan dan hanya ada sedikit pilihan,” kata Ian. Namun, Ian mengatakan persaingan usaha tidak sehat ini bisa dihindari berkat pengawasan ketat pemerintah. Selain itu, persaingan komersial ini  diatur dalam UU No. 5 pada tahun 1999.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.