O2O Integration: Changing How Brands Work From Online to Offline

0
1557
Tangkapan layar Aldi Raharja Head of Blockchain Solutions – Nusameta by WIR Group, saat memaparkan materi dalam Websummit DataGovAI 2022, Selasa (29/11).

Dunia digital sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia modern saat ini. Kita sudah sangat terkoneksi dengan dunia digital melalui ponsel pintar yang hampir 24 jam selalu kita genggam. Belum lagi jika web 3.0 segera terealisasi. Bentuk internet terbaru yang diprediksi akan menghadirkan frameless future di mana seluruh informasi dalam internet akan hadir di depan mata kita melalui wearables ini akan mengaburkan batasan antara realita dan virtual.

Memasuki era web 3.0 atau yang juga dikenal dengan nama web3, brands mulai berlomba untuk mengetes ketertarikan konsumen dengan produk digital sebagai bentuk ekonomi baru yang ditawarkan. Meski begitu, produk-produk digital ini tidak hadir hanya sebatas sebagai virtual saja karena brands masih menindaklanjutinya dengan produk fisik yang tetap tersedia untuk konsumen.

Menariknya, tidak sedikit brand yang memiliki strategi merilis produk secara digital terlebih dahulu sebelum selanjutnya baru merilis versi nyatanya. Beberapa brand fashion seperti LVMH, Adidas, atau New Balance memilih pendekatan konvensional dengan mengubah produk fisik milik mereka menjadi produk digital dan ditawarkan kepada konsumen melalui platform seperti Roblox atau Fortnite. Mereka memilih produk-produk yang telah dikenal konsumen dan merilis versi digitalnya sebagai collectibles.

Sementara itu, Aglet melakukan hal sebaliknya. Platform jual-beli sneakers ini merilis sepatu digital yang bersifat collectibles dan merilis versi IRL (in real life) atau fisiknya beberapa bulan setelah sepatu-sepatu digital tersebut ludes dibeli para sneakerheads di dunia maya. Strategi ini dilakukan untuk mengkuantifikasi permintaan dari produk nyata dengan melihat antusiasme konsumen atas produk digitalnya.

Tidak hanya di platform metaverse, integrasi O2O seperti itu pun dapat dilakukan di platform media sosial yang telah existed sebelumnya. Makeup artist Jo Baker melakukannya dengan membuat filter makeup untuk Snapchat dan Instagram. Kepopuleran filter tersebut ditindaklanjuti dengan perilisan produk fisiknya di kemudian hari.

WIR Group sendiri memiliki satu unit bisnis bernama DAV yang merupakan penyedia layanan mesin pintar berbasis Internet of Things (IoT) yang dapat menjembatani integrasi O2O seperti di atas. Melalui mesin pintar ini, konsumen dapat mengakses berbagai konten termasuk berbelanja produk digital. Integrasi O2O ini pun dapat dihubungkan dengan ekosistem metaverse Indonesia yang tengah dibangun oleh Nusameta, unit bisnis WIR Group yang berfokus pada metaverse.

Saat ini mesin DAV telah disebar di ribuan gerai Alfamart di Jawa dan Bali. Menariknya, karena lokasinya yang berada di minimarket, DAV dapat digunakan sebagai aktivasi O2O bagi brands yang menjual produk fisiknya di minimarket tersebut. Misalkan saja, sebuah brand mie instan dapat memberikan merchandise digital berupa t-shirt digital untuk avatar metaverse atau NFT artwork di Nusameta saat konsumen melakukan redeem di mesin DAV. Atau sebaliknya, saat konsumen membeli produk digital di Nusameta mereka bisa mendapatkan produk fisiknya di dunia nyata.

Melalui kehadirannya yang dekat ke masyarakat dan kemudahan penggunaannya, DAV diharapkan menjadi solusi IoT yang mudah diterima dan banyak digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, ini akan mendorong laju integrasi O2O dalam berbagai sektor.

Integrasi O2O ini menjadi hal yang sangat penting untuk masa depan metaverse karena memberikan utilitas bagi aset-aset digital yang saat ini masih belum banyak memiliki values karena konsumen masih menilai objek fisik yang tangible memiliki nilai lebih. Terlebih dengan kehadiran web3 yang berkonsep phygital (physical-digital) di mana batasan antara dunia nyata dan juga virtual akan mengabur, brand pun perlu segera terjun dan memikirkan strategi bisnis dengan menerapkan integrasi ini.