HUT TELKOMSEL KE-29 : SEJARAH AWAL MULA TELKOMSEL DI INDONESIA

0
599

Jakarta, Komite.id – Industri telepon seluler atau yang dikenal sebagai Sambungan Telepon Bergerak Seluler (STBS) atau mobile phone, sudah diperkirakan akan menjadi pilihan utama di masa mendatang.

Digadang-gadang pula bahwa sistem telekomunikasi ini merupakan industri yang menggiurkan. Oleh karena itu, banyak pihak mengincarny agar masyarakat dapat memperoleh manfaat yang optimal dari perkembangan STBS ini, diwacanakan juga perlu diadakan kompetisi dalam penyelenggaraannya.

Sebenarnya, mobile phone di Indonesia sudah diperkenalkan oleh Perumtel pada akhir tahun 1980 dengan pola kerjasama bagi hasil bersama Ericsson dan Swasta Indonesia.

“Dengan menggunakan sistem NMT (Nordic Mobile Telephone). NMT adalah sistem yang dikembangkan oleh negara-negara Skandinavia. Pemerintah memberikan spektrum frekuensi kepada perusahaan patungan tersebut pada band 470 MHz,” PT Rajasa Harja Perkasa.

“Setelah pergantian kabinet pembentukan perusahaan tersebut dinilai tidak transparan. Telkom saat itu telah mempunyai Divisi STKB (Sambungan Telepon Kendaraan Bergerak) yang kemudian menjadi STBS yang antara lain mempelajari semua sistem STBS yang sudah beroperasi di dunia. Pada saat itu teknologinya masih tergolong generasi pertama (1G). Bersama pemerintah, akhirnya Telkom menetapkan sistem AMPS (Advanced Mobile Phone System) yang berasal dari Amerika Serikat yang menjadi sistem STBS nasional generasi pertama,” Menparpostel Soesilo Soedarman.

Melalui sistem STBS, muncul operator-operator STKB antara lain : Komselindo/Elektrindo Nusantara dan Centralindo Panca Cakti, untuk membangun STBS dengan sistem AMPS. Operator tersebut adalah investor swasta yang oleh undang-undang diharuskan bekerja sama dengan PT Telkom. Sistem AMPS dipilih karena banyak negara menggunakannya, terutama di Amerika, Australia, dan di negara-negara tetangga di ASEAN.

Sementara, Negara-negara di Eropa mempunyai sistem yang berbeda-beda kemudian bersepakat dan bergabung guna menciptakan sistem digital yang sama untuk seluruh Eropa agar dapat digunakan di seluruh wilayah Eropa (roaming). Sistem mereka namakan Group Special Mobile yang akhirnya menjadi Global System for Mobile, disingkat GSM. Kemunculan GSM ini menandakan lahirnya sistem seluler generasi kedua (2G) yang berbasis digital.

BJ Habibie ikut berperan dalam terlahirnya Telkomsel dan juga penggunaan layanan GSM ke Indonesia.

“Bapak Prof. B.J. Habibie berpendapat, bahwa GSM adalah sistem yang tepat untuk meningkatkan teledensitas (kepadatan telepon) di Indonesia.”

Tahun 1994–1995 development cost atau biaya pengembangan GSM sudah tertutup oleh besarnya volume penjualan yang telah dilaksanakan di Eropa sehingga biaya investasi pun akan lebih rendah. Selain itu, sistem GSM pun sudah akan teruji secara operasional di lapangan. Ini mendorong Setyanto sebagai Dirut Telkom untuk menggolkan penerapan GSM di Indonesia.

“Secara strategis, alasan mengapa GSM sebagai sistem yang tepat bagi Indonesia, karena di Eropa saat itu GSM sudah dipakai di seluruh negara Eropa dan terbukti tangguh dalam pengoperasiannya di lapangan (operationally proven) dan juga sudah dioperasikan secara komersial (commercially proven). Karena sudah dioperasikan secara komersial dan harga peralatan GSM pun pasti lebih murah karena development costs atau biaya pengembangan sudah tertutup oleh pembeli-pembeli sebelumnya dan sudah diuji melalui persaingan di pasar. Jadi, GSM bukanlah teknologi sekelas teknologi yang “coba- coba”, Setyanto P. Santosa.

Pertimbangan operationally proven dan commercially proven untuk selanjutnya merupakan senjata pamungkas yang sering Setyanto gunakan dalam memutuskan penerapan teknologi di Telkom, mengingat keterbatasan pengetahuan tekniknya dibandingkan dengan karyawan yang memang berlatar pendidikan formal disiplin teknik telekomunikasi.

Dengan prinsip “seeing is believing”, maka Setyanto akan bisa meyakinkan bahwa apa yang diusulkan sudah terbukti bagusnya. Kalau yang diusulkan teknologi yang “coba-coba”, dia akan serta-merta menolaknya dan meminta usulan-usulan yang diajukan harus dikaji ulang dengan membawa bukti nyata. Senjata pamungkas ini selalu terbukti kesaktiannya.

Dengan didampingi oleh Wisnu Marantika (Direktur Rekayasa Telkom) dan Koesmarihati (Direktur Pembangunan Telkom), pada 14 Juli 1993 malam, Setyanto menghadap Prof. B.J. Habibie selaku Menristek/Ketua BPPT dengan membawa usulan agar GSM ditetapkan sebagai standar seluler digital nasional. Belakangan Setyanto sempat bertanya kepada Koesmarihati tentang peristiwa itu karena bagi Setyanto itu momen yang sangat penting yang mengubah sejarah telekomunikasi di Indonesia. Ia mengenang saat itu sebagai penantian yang mendebarkan.

Menghadapi tantangan dari luar yang posisinya lebih tinggi. Tantangan yang tak kalah berat justru datang dari internal. Sebagian kurang menyukai GSM. Mereka bahkan memaksa agar teknologi yang dipakai adalah AT&T dari Amerika Serikat. Setyanto bersikeras untuk tetap menggunakan GSM dengan peralatan standar Eropa. Tidak ada gunanya mempertahankan AT&T hanya karena alasan emosional agar hubungan baik yang sudah terjalin dengan Amerika Serikat dapat tetap terpelihara. Dukungan Pak Habibie cukup menguatkan keyakinannya..

Ternyata kalangan internal yang tidak setuju menerapkan GSM tak mudah diyakinkan, mereka tetap berusaha agar Telkom menggunakan sistem AMPS. Karena harus diputuskan, maka Setyanto katakan, “Laksanakan saja keputusan ini karena saya yang sekarang jadi dirut. Nanti kalau kalian yang menjadi dirut, silakan diubah.” Setyanto mengatakan itu kepada staf Telkom Garuda Sugardo dan Soekiryanto, Bc.TT serta seorang staf di ruang kerjanya di Jakarta ketika mereka bertiga menghadap. Kemudian keputusan ini ditegaskan lagi dalam rapat direksi sehingga semua pihak diminta terlibat dalam membuat keputusan yang strategis itu.

Setyanto kemudian mengurus izin frekuensi ke Menparpostel bersama Sekretaris Dirut, Agus Utoyo. Mereka membuat konsep surat yang akan ditandatangani Menparpostel dibantu oleh Letkol (L) Soeradji, seorang perwira menengah dari kesatuan Angkatan Laut yang diperbantukan di Direktorat Frekuensi Ditjen Postel. Surat permohonan dari Telkom akhirnya disetujui oleh Menparpostel dan frekuensi 900 MHz sebesar 7,5 MHz diberikan dengan mulus tanpa adanya biaya yang harus dikeluarkan.

“Selesai dengan masalah itu, ternyata ada pihak luar yang juga berminat menyelenggarakan jasa telepon seluler digital dan sudah mendapat lampu hijau dari Dirjen Postel, Djakaria Purawidjaja. Dirjen Postel mengirimkan surat resmi kepada Telkom bahwa Telkom boleh saja membangun GSM sebagai investor, tetapi operatornya dan service provider-nya akan diserahkan kepada pihak swasta. Situasi makin memanas, sudah tercium adanya tarik-menarik, rebutan untuk mencuri start mendapatkan hak penyelenggaraan GSM. Setyanto makin yakin bahwa intuisi menggolkan GSM tidak salah.”

Mantan presiden Indonesia dan presiden BJ Habibie datang ketika dia tiba untuk menghadiri upacara untuk secara resmi membuka kedutaan besar Australia yang baru di Jakarta, Indonesia 21 Maret 2016.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, sangat jelas disebutkan bahwa PT Telkom merupakan badan penyelenggara. Jadi, otomatis PT Telkom juga bertindak sebagai operator atau service provider. Apabila ada pihak lain yang berminat ikut menjadi operator, harus ada kerja sama dengan badan penyelenggara.

 Surat ini kemudian dibahas dalam rapat yang dipimpin oleh Menparpostel. Setelah saling berargumentasi, akhirnya diputuskan bahwa Telkom yang membangun dan menjadi penyelenggara telepon seluler di Indonesia. Di benak Setyanto dan kawan-kawan, keputusan itu seperti sebuah pintu gerbang yang terbuka dan menantang. Setelah melewati perjalanan awal yang penuh tantangan, kini sudah mendapat izin Menparpostel ditambah restu dari B.J. Habibie.

Namun, keberhasilan Telkom ini rupanya menyulut kemarahan pihak yang merasa dikalahkan. Berbagai komentar miring pun tak terbendung. Ada yang mengatakan Telkom merebut rezeki pihak lain. Setyanto sadar betul, reaksi keras seperti itu memang bakal terjadi karena awal yang terasa berkerikil untuk meluluskan GSM dikembangkan di Indonesia sudah diwarnai aksi rebutan. Bukan tidak mungkin, jika Telkom memenangkan perebutan ini, akan ada pihak yang menentangnya.

Reaksi keras tidak hanya ditunjukkan lewat surat, tetapi juga dalam bentuk tekanan langsung. Pada Oktober 1993, seorang mantan jenderal bintang tiga bersama seorang ketua organisasi politik mendatangi ruang kerja Dirut Telkom dengan wajah muram. Ia meminta agar Telkom mundur dari penyelenggaraan GSM. Koesmarihati yang ikut hadir saat menemui mereka. Setyanto menghadapi situasi tegang ini dengan ketenangan yang luar biasa. Dia memang tidak gentar dan malah menghadapinya dengan senyum.

Kemudian sang jenderal menjelaskan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk meminta agar Telkom mau bekerja sama dan menunjuk mereka sebagai penyelenggara GSM. Tentu saja permintaan itu ditolak. Setyanto katakan, GSM akan dikerjakan sendiri oleh Telkom. Sang jenderal tampak kecewa dan marah. Ketika tangan jenderal itu siap membanting sesuatu, Setyanto minta dengan perlahan, tetapi tegas, “Mohon Bapak jangan merusak meja atau kursi, ini inventaris kantor kami, jangan dirusak.” Sang jenderal pun meninggalkan ruangan dengan wajah masih menyimpan amarah..

Ternyata, walaupun sudah diputuskan oleh Menparpostel, Dirjen Postel masih menekan Telkom dengan menginstruksikan agar Telkom menyelesaikan pembangunan GSM di Batam sebelum ayam berkokok tahun 1994 yang artinya awal Januari 1994. Jika tidak dapat menyelesaikan, maka izin membangun dan menyelenggarakan GSM akan dialihkan ke pihak swasta. Tanpa membuang waktu, kemudian Setyanto menugaskan Garuda Sugardo untuk memimpin proyek telepon seluler GSM ini, khusus untuk proyek perintis di Batam didukung oleh Kepala Wilayah Telekomunikasi Sumatera Barat (yang membawahkan Batam), Adek Julianwar, untuk menyiapkan kebutuhan gedung dan raise-floor serta sarana penunjang yang diperlukan lainnya, sehingga perangkat GSM dapat dipasang sesuai dengan spesifikasi tekniknya. Surat perintah khusus dikirimkan kepada Adek Julianwar agar mengambil berbagai langkah yang diperlukan untuk pengadaan sarana penunjang instalasi GSM di Batam sesuai waktunya.

Tekanan Dirjen Postel untuk segera menyelesaikan pembangunan GSM juga mendorong Setyanto untuk mengumpulkan para vendor perangkat GSM di Jakarta dan meminta mereka untuk membantu percepatan penyelesaian proyek ini. Setelah itu, Setyanto dengan tim keliling Eropa untuk langsung menemui pimpinan perusahaan pembuat GSM di Eropa, antara lain Siemens dan Ericsson, dan minta dukungan mereka dalam mempercepat pembangunan GSM di Indonesia dengan tawaran tanpa adanya kontrak terlebih dulu dan statusnya sebagai barang pinjaman. Jika dapat beroperasi dengan baik maka dalam waktu tiga bulan akan dibayar lunas. Mungkin kalau langkah ini dilakukan sekarang, dapat dipastikan KPK akan menangkapnya karena mengadakan peralatan dalam nilai yang besar tanpa melalui proses tender.

Dari semua vendor yang ada, hanya Ericsson (Swedia) yang mempunyai persediaan siap (ready stock) perangkat GSM. Karena itu, Ericsson langsung diberi surat perintah untuk mengadakan perangkat GSM. Hanya saja, waktu yang mereka butuhkan empat bulan karena proses pengirimannya memakan waktu. Itu tidak akan cukup untuk mengejar syarat ”sebelum ayam berkokok tahun 1994”, yang artinya maksimal 31 Desember 1993 sudah harus bisa terbukti sistem GSM yang dilakukan Telkom bisa dioperasikan.

Akhirnya, 31 Desember 1993, pembangunan GSM di Batam dapat diselesaikan dengan baik. Walaupun sudah selesai pada awal Januari 1994, tetapi baru pada September 1994 proyek GSM di Batam diresmikan oleh Prof. B.J. Habibie didampingi Menparpostel ad interim Dr. Harijanto Dhanutirto. Kebanggaan saat itu muncul karena Telkom mampu mendahului Singapura (yang masih menggunakan sistem AMPS) membangun telepon seluler GSM, bahkan sinyal GSM Telkom ini dapat ditangkap dengan baik di Bandara Changi.

BJ Habibie mencoba sambungan telepon menggunakan GSM Telkom di acara peresmian Telkomsel GSM di Pulau Batam pada 2 September 1994.

 Dari persetujuan BJ Habibie menjadi dorongan besar untuk melakukan migrasi teknologi dan pengembangan industri seluler analog ke digital di Indonesia. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 2 September 1994, BJ Habibie meresmikan pengoperasian Telkomsel GSM di Pulau Batam.

Habibie melakukan percobaan teknologi GSM dengan melakukan hubungan telepon dari layanan GSM Telkomsel perdana, dari Batam ke Jakarta dan London. Habibie saat itu didampingi oleh Direktur Utama Telkom, Setyanto, dan Kepala Proyek Sistem Telekomunikasi Kendaraan Bergerak Telkom, Garuda Sugardo.

Keberhasilan percobaan telepon di Batam itu menjadi cikal-bakal lahirnya PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) pada 26 Mei 1995. Telkomsel akhirnya menggunakan teknologi GSM untuk layanan telekomunikasinya.

“Bapak Habibie merupakan sosok yang penting bagi kami, beliau memiliki hubungan sejarah erat dalam proses beroperasinya teknologi selular Global System for Mobile Communications di Indonesia serta beroperasinya layanan Telkomsel pertama kali di Pulau Batam,”

Untuk menyelenggarakan jasa telepon seluler ini, kemudian dibentuklah anak perusahaan Telkom, yang dinamakan Telkomsel yang merupakan kependekan dari Telkom Seluler. Kepemilikan Telkomsel semula akan 100% berada di tangan Telkom, tetapi, sayangnya, terjadi intervensi dari Menparpostel dan Sekjen Depparpostel agar membagi kepemilikan Telkomsel dengan jumlah yang sama kepada PT Indosat.

Memang, secara pengaturan, di dalam penyelenggaraan telepon seluler ini juga terdapat pula jasa pelayanan telekomunikasi internasional yang melekat sehingga PT Indosat perlu diikutsertakan. Namun, tentunya tidak harus 50:50 atau sama jumlah kepemilikan sahamnya. Secara logika, seharusnya Telkom yang mayoritas. Namun, saat itu Indosat sedang menyiapkan IPO (initial public offering) di bursa saham internasional, sehingga memerlukan tambahan bisnis yang dapat mendongkrak nilai perusahaan, salah satunya adalah jasa telepon seluler GSM. Akhirnya disepakati Telkom memiliki 51,03% dan Indosat 48,97%.

“Sesungguhnya Setyanto dan kawan-kawan di Telkom tidak sependapat dengan keputusan pemerintah tersebut. Namun, bagaimanapun, sulit menolaknya. Akhirnya, Setyanto beserta Direksi Telkom lainnya hanya bisa berdoa, semoga semua ini ada hikmahnya bagi Telkom dan Telkomsel yang resmi didirikan pada tanggal 26 Mei 1995. Sebagai Direktur Utama Telkomsel Setyanto menunjuk Koesmarihati dan Direktur Teknik Garuda Sugardo, sedangkan wakil dari Indosat adalah Rudiantara sebagai Direktur Niaga dan Hulman Sijabat sebagai Direktur Keuangan.”

Di balik pemilihan lokasi pertama GSM Telkomsel di Batam, sesungguhnya Telkom dan Telkomsel mendapat hikmahnya. Karena daerah ini berada di bawah naungan Otorita Batam yang berada di bawah kekuasaan dan pembinaan Prof. B.J. Habibie, maka tentu kepastian bisnisnya akan dilindungi dan tidak akan ada intervensi dari pihak lain.

Selain itu, agar di awal pendiriannya, Telkomsel menghindari persaingan “head to head” dengan Satelindo di Jakarta yang juga mendapat izin mengoperasikan sistem GSM. Jika terjadi head to head dengan Satelindo, dikhawatirkan dapat mengusik Satelindo yang sedang menikmati kenyamanan yang sedang mereka peroleh dengan menetapkan harga telepon genggam yang tinggi yakni Rp17 juta. Hal ini karena pelanggan juga harus membeli handset-nya dari Satelindo. Di samping itu, Satelindo, yang merupakan milik putra orang penting di Indonesia, memang mendapatkan proteksi yang luar biasa dari pemerintah.

Dari Batam, pelayanan Telkomsel kemudian diperluas ke Pekanbaru, lalu ke Medan, karena untuk akses ke lokasi tersebut dari Batam sudah tersedia jaringan transmisi gelombang mikro Trans-Sumatra. Setelah di beberapa kota besar di Indonesia terpasang GSM, baru Telkomsel masuk ke Jakarta, sehingga persaingan dengan Satelindo yang saat itu masih menjual telepon genggam (handset-nya) dengan harga tinggi menjadi tak terhindarkan. Karena sistem layanan yang ditawarkan Telkomsel dianggap lebih efisien, dengan membebaskan pelanggan membeli handset-nya sendiri-sendiri sesuai selera, maka Telkomsel kebanjiran pelanggan. Calon pelanggan berbondong- bondong mendatangi loket penjualan Telkomsel.

Satelindo tampaknya berusaha menjegal, yaitu melalui Dirjen Pajak Fuad Bawazier, yang juga Komisaris Utama Satelindo. Kemudian muncullah aturan agar setiap kepemilikan ponsel (handset telepon seluler), untuk bisa tersambung ke jaringan telepon seluler, harus disertai faktur pajak pembelian. Ternyata kemudian banyak pelanggan yang mengakali aturan ini dengan membeli surat faktur pajak di pasar gelap yang harganya relatif murah.

Ada juga dampak lainnya. Tanpa diperhitungkan sebelumnya, akibat keputusan liberalisasi ponsel yang dilakukan Telkomsel, banyak gerai ponsel yang bermunculan yang tersebar di seluruh Indonesia. Ini jadi fenomena tersendiri. Akhirnya Satelindo pun mengikuti tuntutan pasar, mengikuti jejak Telkomsel melakukan liberalisasi ponsel jasa pelayanannya.

“Benar kata orang bijak bahwa the journey of a thousand miles begins with one step. Karena langkah pertama Telkomsel yang sudah benar ini maka perjalanan Telkomsel selanjutnya lancar dan mampu mengungguli para pesaingnya sampai saat ini. Di samping itu, jangkauan jaringan Telkomsel pun lebih luas karena pembangunannya diawali dari luar Pulau Jawa, baru kemudian setelah merata mulai masuk ke kota-kota besar di Pulau Jawa.”

Terimakasih kepada Generasi Penerus yang telah dapat melanjutkan perjuangan untuk mewujudkan impian & harapan para Pendiri menjadikan Telkomsel yang terbaik di Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara.

-DIRGAHAYU TELKOMSEL-

Jadilah Teladan dalam Melayani Pelanggan. ….

(Kutipan dari buku Fast Learner).