Disrupsi Fintech: Meningkatkan Finansial Inklusi dan Mengurangi Ekonomi Biaya Tinggi

0
3007

Jakarta, KomITe.ID – Disrupsi fintech tidak terhindari. Persaingan antara pelaku industri finansial semakin ketat yang berdampak pada menurunnya margin keuntungan dan resiko kualitas kredit. Regulasi fintech pun semakin ketat untuk mengimbangi peningkatan vulnerability dengan semakin besarnya peranan Fintech bukan saja di tanah air namun global.

Banyaknya komentar regulator yang hadir di Singapura Fintech Festival, dimana banyak negara mencari solusi dengan soft regulation melalui konsep sandbox yang juga dimanfaatkan oleh OJK, menjembatani ketatnya regulasi tradisional perbankan, namun tetap mendukung regulasi yang soft agar semakin banyak startup fintech.

Untuk mengurangi resiko maka semakin banyak fintech yang fokus di jasa pinjaman yang berijin, namun jumlah nominal transaksinya dibatasi untuk melindungi kepentingan nasabah, sedangkan perbankan klasik untuk transaksi yang lebih besar, karena memiliki sistem yang lebih matang, teruji lebih lama dan profesional.

Fintech di Indonesia
Perkembangan industri fintech di Indonesia cukup pesat, dimana ada 165 perusahaan fintech yang mendapatkan ijin OJK dari 190 perusahaan fintech(2017) dari 162 perusahaan (2016), menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Finansial Teknologi, Ajisatria Sulemen. 30% diantaranya adalah Fintech di bidang Peminjaman Dana, sedangkan sisanya beranekaragam antara lain asuransi dan sistem pembayaran. Jumlah volume dan nilai transaksi meningkat dari Rp 200 miliar (2016) meningkat menjadi sekitar Rp 1.4 Triliun(2017).

Semenjak krisis finansial 2008, regulator memperketat regulasi perbankan, sehingga UKM kesulitan mendapatkan dana, mendorong tumbuhnya industri peminjaman memanfaatkan teknologi finansial, yang lebih efisien, bahkan tanpa perlu tatap muka, semuanya dilakukan online, salah satunya peer to peer (P2P) bisnis peminjaman dana, antar masyarakat sebagai investor dan penerima dana.

Perkembangan pesat ini juga tentu menyebabkan regulator fintech, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan BI (Bank Indonesia) harus bekerja keras untuk dapat mengeluarkan beleid aturan agar industri dapat tumbuh sehat tanpa merugikan kepentingan masyarakat. Salah satu cara adalah menggunakan aturan klasik yang diterapkan di dunia perbankan, namun tentu saja memberatkan pemain Fintech yang majoritas adalah startup atau bisnis pemula, dari berbagai industri antara lain pelaku transportasi (GoPay, Grab Pay) ecommerce (Tokopedia, Bukalapak), perusahaan Telkom (Telkomsel, Indosat) dan internet, perbankan dan kartu kredit klasik.

Regulator menerapkan regulasi sandbox bagi industri startup fintech mengedepankan perlindungan konsumen, resiko investor, proses mitigasi dan transparansi serta pengawasan pada pengembangan teknologi. Untuk menjembatani industri klasik perbankan raksasa dengan industri startup fintech yang agile dan kreatif, maka OJK menerapkan pola pendampingan kolaborasi antara perbankan dan fintech untuk menghindari persaingan diantara perbankan dan fintech.

Kartu Debit & Kredit Perbankan
PT BCA (Bank Central Asia) meluncurkan kartu Paspor BCA Mastercard berbasis teknologi chip, untuk semua jenis kartu debit, Blue, Gold, Platinum, untuk meningkatkan kenyamanan, akses 40 juta merchant dan keamanan selama bertransaksi memanfaatkan teknologi chip. Jumlah kartu debit sekitar 15 juta, dimana 12 juta masih menggunakan teknologi magnetik, sisanya 3 juta menggunakan chip, semua memiliki resiko dan vulnerabilitasnya. Memang disrupsi fintech tidak dapat dihindari dan hampir semua transaksi dikehidupan sehari hari akan memanfaatkan fintech, dimana keamanan semakin dituntut masyarakat.

Tiga Bank nasional BRI, Bank Mandiri dan BNI, sedangkan BTN sedang dalam proses, bekerjasama di bawah Himpunan Bank Negara (Himbara) mencakup 60% pemegang kartu debit di Indonesia untuk menyediakan perangkat EDC (Electronics Data Capture) dan ATM (Automatic Teller Machine) Link di setiap merchant yang terintegrasi dengan koordinasi Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bank Mandiri memiliki 200 ribu merchant, BRI 120 ribu merchant dan BNI 100 ribu mercant. Kerjasama 3 Bank ini juga dengan PT KAI (Kereta Api Indonesia), PT Telkom, PT Pos Indonesia, PT Kimia Farma, PT Pegadaian dan PT Pertamina Retail untuk dapat melakukan top up, pembayaran kredit, debit dan e-toll. BRI, menurut Indra Utoyo, Direktur Digital Banking & Technology menargetkan tambahan 50 ribu merchant digital smart berbasis Android.

Kartu Elektronik
Bidang sistem pembayaran antara lain pemain kartu uang elektronik terutama dengan adanya peraturan agar semua pintu toll tidak lagi menerima uang tunai namun memanfaatkan kartu uang elektronik yang menyebabkan beberapa pemain perbankan besar seperti BRI, Mandiri, BCA dll dan pemain industri telekomunikasi besar dan pemain fintech untuk menikmati transformasi menuju sistem pembayaran digital dan elektronik. Bahkan Halte bus Transjakarta sudah menerapkan terlebih dahulu penggunaan sistem tap atau sentuh kartu elektronik vs sistem penjualan karcis dengan pembayaran tunai di gerbang halte TransJakarta, sehingga terjadi penghematan dan pengurangan tenaga kerja di pintu pintu tol, sehingga Pemerintah mengeluarkan peraturan agar tidak terjadi PHK karena transformasi sistem pembayaran elektronik ini.

Sistem ini sudah diterapkan lama di Inggris dengan kartu Octopus dan dikembangkan di Hongkong sejak 1997 terintegrasi untuk semua moda transportasi dan pembayaran dari MRT, kereta api, bis, trem hingga feri dll. Tiga juta kartu Octopus terjual di Hongkong sejak 3 bulan diluncurkan. Dari pelayanan moda transportasi berkembang kebisnis lainnya seperti parkir kendaraan, berbelanja di toko ritel, bahkan akses entri diberbagai kawasan termasuk pemukiman, membuat Octopus menjadi salah satu pemain fintech jasa keuangan yang berkembang pesat.

Turis di Roma dan kota besar lainnya di Eropa juga dapat menikmati kartu untuk membayar hampir semua moda transportasi yang berlaku dengan masa berlaku 3 jam, 24 jam atau 3 hari bahkan seminggu.

Inkusi Keuangan dengan Kartu Eletronik Non Tunai & API
Untuk mendorong inklusi keuangan atau Financial Inclusion, maka kartu elektronik non tunai ini juga digunakan untuk pelayanan masyarakat bawah melalui Program Keluarga Harapan (PKH) untuk menyalurkan bantuan atau subsidi secara sangat transparan dan langsung, bahkan kartu dapat digunakan untuk sebagai kartu debit bank, yang semula banyak yang tidak memiliki rekening bank. Aplikasi untuk penyaluran bantuan pangan non tunai juga sudah diluncurkan diberbagai kota mengurangi korupsi dan ekonomi biaya tinggi, karena berkurangnya peran intermidiatary dan manusia untuk mendistribusi uang secara tunai.

Go-Pay Aplikasi e-Money dan e-Wallet Semakin Masif 2018
“Go-Jek menggunakan Platform pembayaran Go-Pay, yang dapat diakses diluar Aplikasi Go-Jek 2018 untuk transaksi web based aplikasi Daring (online) & Luring (offline) dengan smartphone di toko tradisional, sebagai Tahun Go-Pay” ujar CEO Go-Jek Nadiem Makarim saat ditemui Rudi Rusdiah, Komite.id & ABDI usai panelis di Global Fintech Festival di Singapura.

Adopsi Fintech via Go-pay akan semakin masif dan mencapai skala ekonomi pada tahun Fintech 2018 Saat ini majoritas pengguna aplikasi Go-jek,60% mulai juga menggunakan aplikasi e-wallet Go-Pay di Smartphone mendorong financial inclusion dan fintech transformasi masyarakat Indonesia, yang sudah mendapatkan lisensi Bank Indonesia.

Trust, melalui edukasi salah satu prinsip mempercepat adopsi fintech saat ini, mengingat sebelumnya masyarakat Indonesia beratus tahun menggunakan transaksi tunai (cash) dan belum percaya dengan produk fintech seperti e-wallet dan e-money yang baru diperkenalkan beberapa tahun, sebuah disrupsi dan transformasi e-money dan fintech. Kunci sukses selain prinsip trust, adalah prinsip kenyamanan dan kemudahan bertransaksi (ease of use) serta prinsip ubiquotous atau dapat bertransaksi dimana mana termasuk dengan toko tradisional offline menggunakan ponsel yang terinspirasi oleh suksesnya Alipay menggunakan QR-Code.

Go-Pay sudah digunakan untuk transaksi pemesanan makanan, transportasi dan komunikasi baik daring dan luring. Gojek mengumumkan kerjasama dan kolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, model Smart & Safe Kabupaten meliputi dukungan pengantar obat bagi kaum miskin di sektor layanan publik kesehatan program Gancang Aron, pesta UKM kuliner Go-Food dan kerjasama transportasi Go-Jek dengan perusahaan taksi lokal.

Grab, melalui GrabPay juga menargetkan 1000 pedagang (e-merchant) di Singapura menggunakan platform QR-Code di kiosk tokonya untuk pembayaran Fintech yang terbesar bagi Internet konsumer di Asia Tenggara ujar Co-Founder Grab Tan Hooi Ling kepada Reuters.(*)

 

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.